Fenomena "No Viral No Justice" menjadi isu hangat dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana penegakan hukum dan keadilan baru bergerak atau diproses setelah sebuah kasus menjadi viral di media sosial atau mendapat sorotan publik yang luas. Fenomena ini mencerminkan lemahnya respons awal aparat penegak hukum terhadap pengaduan masyarakat tanpa adanya tekanan publik.
Akar Masalah
Fenomena ini terjadi karena beberapa faktor:
1. Kurangnya integritas dan independensi aparat penegak hukum, yang kerap abai terhadap laporan masyarakat.
2. Minimnya pengawasan dan akuntabilitas, membuat pelaporan masyarakat tidak segera ditindaklanjuti.
3. Peran media sosial sebagai alat kontrol, membuat masyarakat terpaksa memviralkan kasus agar mendapat perhatian.
Beberapa Kasus "No Viral No Justice"
1. Kasus Kekerasan di Rempang, Batam (2023): Penggusuran paksa warga adat Rempang oleh aparat keamanan untuk proyek Rempang Eco-City tidak mendapat perhatian serius hingga video kekerasan aparat terhadap warga viral. Setelah viral, baru dilakukan penyelidikan dan ada permintaan maaf dari pejabat terkait.
2. Kasus Penembakan di Rest Area Tol Japek KM 50: Penembakan terhadap anggota FPI awalnya hanya diinformasikan sepihak oleh aparat. Namun setelah bukti CCTV tersebar dan menjadi viral, baru dilakukan investigasi lebih lanjut oleh Komnas HAM dan publik mengetahui kejanggalan dalam kronologinya.
3. Kasus Pelecehan Seksual di Kampus: Banyak kasus pelecehan seksual di kampus baru diproses setelah korban melakukan kampanye media sosial dan mendapatkan dukungan netizen, seperti kasus di Universitas Riau dan Universitas Indonesia.
4. Kasus Penganiayaan David oleh Mario Dandy (2023): Awalnya kasus ini ditangani secara biasa. Setelah video penganiayaan brutal viral, barulah publik mendorong proses hukum yang cepat dan transparan. Hasilnya, Mario divonis berat dan pejabat yang terkait turut diperiksa.
Dampak Sosial dan Hukum
• Kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum.
• Mendorong masyarakat untuk menyelesaikan masalah lewat media sosial.
• Meningkatkan ketegangan antara warga dan pemerintah.
Solusi dan Rekomendasi
1. Reformasi institusi penegak hukum, termasuk penyaringan aparat yang tidak berintegritas.
2. Peningkatan mekanisme pelaporan yang akuntabel dan transparan.
3. Sosialisasi dan edukasi hukum ke masyarakat.
4. Peran aktif media massa yang profesional dalam menyuarakan kasus publik.
Aspek Hukum dan Regulasi
Tidak ada undang-undang khusus yang mengatur tentang fenomena "No Viral No Justice", namun secara prinsip fenomena ini bertentangan dengan:
1. Pasal 27 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin persamaan di depan hukum.
2. Pasal 5 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hukum.
3. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang mengatur hak masyarakat dalam proses hukum yang adil dan cepat.
4. Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang mengharuskan anggota Polri bertindak cepat dan adil dalam menerima laporan masyarakat.
Penutup
Fenomena "No Viral No Justice" adalah refleksi dari tantangan penegakan hukum yang masih lemah di Indonesia. Ke depan, dibutuhkan komitmen reformasi menyeluruh dan pengawasan publik yang kuat agar keadilan tidak hanya hadir bagi yang viral, tetapi bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
Penulis : Tony Candra
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lancang Kuning