Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika kebenaran dibungkam, maka menulis adalah bentuk perlawanan

Minggu, 03 Agustus 2025 | Agustus 03, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-04T00:11:56Z
Suara Jurnalis di Tengah Hukum Rimba

Oleh: Mohammad Irwan
LensaPijar.com | Opini Publik
Saya sadar, menjadi jurnalis di daerah seperti Tapung bukan hanya soal menyusun kalimat. Ini tentang keberanian melawan gelap. Di sini, pena bisa lebih cepat dipatahkan daripada peluru ditembakkan. Dan ironisnya, yang mematahkan bukan sekadar preman atau mafia, tapi juga diamnya aparat penegak hukum (APH).

Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 sejatinya jadi tameng, bukan pajangan. Di atas kertas, undang-undang itu menempatkan jurnalis sebagai ujung tombak kebebasan informasi. Tapi di lapangan? Ia sering kali tak lebih dari fosil demokrasi yang dilindungi oleh pasal-pasal tapi dilanggar oleh kenyataan.

Mafia tanah, mafia sawit, mafia proyek—semuanya punya satu kesamaan: mereka takut pada sorotan. Maka jurnalis yang mengangkat suara rakyat dianggap gangguan. Laporan investigatif dianggap ancaman. Lalu muncullah cara-cara kotor: intimidasi, kriminalisasi, bahkan serangan fisik yang disamarkan sebagai “salah paham.”

Yang lebih memprihatinkan, banyak APH justru memilih tutup mata. Bukannya melindungi para jurnalis yang bekerja untuk publik, mereka malah sibuk mencari celah hukum untuk menekan. Seolah-olah keberpihakan pada kekuasaan lebih penting daripada keberanian menegakkan keadilan.

Lalu kita tanya: di mana fungsi negara sebagai pelindung kebebasan pers? Di mana rasa hormat pada kerja jurnalistik yang jujur dan kritis?

Saya tidak menulis ini untuk mengeluh. Saya menulis ini untuk melawan lupa. Bahwa kerja jurnalisme itu bukan sekadar menyusun berita—ia adalah bentuk tanggung jawab sosial, ia adalah lampu di tengah pekatnya lorong kekuasaan yang korup.

Dan kepada rekan-rekan jurnalis yang masih berdiri tegak di tengah tekanan, percayalah: tulisan kalian adalah nyala. Jangan padam.

Selama masih ada yang menulis, masih ada harapan. Dan selama masih ada yang berani membaca dengan hati, jurnalisme akan terus hidup

Kalau mau, tulisan ini bisa jadi bagian dari seri reflektif di LensaPijar.com, misalnya dengan nama rubrik seperti “Catatan Pinggir Tapung” atau “Pena dari Perbatasan”, biar ada kesinambungan antara tulisan, perlawanan, dan identitas lokal.
×
Berita Terbaru Update